Kebebasan dalam menyampaikan
pendapat merupakan hak setiap individu sebagai insan yang berpikir,
bermartabat, dan telah merdeka. Memang di negeri ini kebebasan itu baru
dirasakan sejak berhentinya rezim Soehartoe, sekitar 17 tahun silam. Tepatnya
Kamis, 28 Mei 1998 babak baru pemerintahan Indonesia sebagai negara demokrasi
dimulai. Setiap orang di negeri ini bebas mengeluarkan kritik dan saran melalui
banyak cara seperti melakukan demo, puisi, musik, dan tulisan. Salah satu
bentuk tulisan yang berisi kritik dan saran terhadap pemerintahan telah sering
kita jumpai dalam bentuk karangan nonfiksi yaitu novel.
Lupa Endonesa yang ditulis oleh Sujiwo Tejo
merupakan salah satu novel yang berisi kritikan, sindiran, dan nasihat terhadap
orang Indonesia mulai dari kalangan remaja hingga dewasa, termasuk di dalamnya
masyarakat umum, tokoh masyarakat, artis, aktor, kalangan akademisi, khusunya
para pemimpin bangsa ini, legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Novel ini lebih
membahas moral anak bangsa dipadukan karakter wayang yang biasa didalangi
Sujiiwo Tejo dengan analogi-analogi yang kadang sulit untuk dipahami. Anakmu
bukan anakmu misalnya, dianalogikan dengan peran Semar, Gareng, dan Adipati
Karna. Menurut saya, pada bagian itu Sujiwo Tejo lebih menyiratkan kritikan
terhadap Tari Pendet yang lahir dari budaya Indonesia dan kini menjadi milik
orang lain karena tidak ada yang memelihara dan membesarkannya. Jika ditelaah
lebih dalam lagi, sebenarnya Tejo tidak hanya mengkritik hilangnya tarian
warisan leluhur tersebut tetapi juga hilangnya kekayaan alam, seperti
Timor-Timur. Pulau Ligitan dan Sipadan, (cari budaya yg telah hilang), dan
hilangnya etika dan moral sebagai bangsa Indonesia yang merupakan warisan dari
leluhur, gotong royong, santun, musyawarah dan lainnya. “Seorang ibu bukanlah
orang yang melahirkan. Seorang ibu adalah orang yang merawat dan membesarkan.
Janganlah kita merasa menjadi ibu yang memilki tari pendet hanya karena kita
melahirkan tari pendet (budaya/warisan leluhur)”.
Setiap manusia pasti berwujud manusia, tetapi
belum tentu rasa kemanusiaan bergantung hati nuraninya. Banyak manusia yang
hidup dan tinggal bahkan menjadi pemimpin di negara ini sebenarnya bukan
manusia. Maraknya kasus korupsi, kelaparan, anak-anak terlantar, penculikan,
pembunuhan, pemerkosaan dan tindak kejahatan lainnya yang dilakukan oleh
manusia menandakan bahwa manusia itu sebenarnya tidak bergantung pada wujud
tetapi bergantung pada esensi. “Kalau ada monyet, ternyata hati nuraninya tak
ubahnya dengan hati manusia, berarti kemanusiaan itu tidak bergantung wujud.
Kemanusiaan itu bergantung esesnsi. Sesuatuyang wujudnya adalah bukan manusia
bisa saja sebenarnya sudah manusia karena esensinya adalah manusia”.
Bersambung
….
Sumber : http://fiksi.kompasiana.com/novel/2014/12/03/lupa-endonesa-1-sujiwo-tejo-707891.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar