Jumat, 19 Desember 2014

Lupa Endonesa (1) (Sujiwo Tejo)

Kebebasan dalam menyampaikan pendapat merupakan hak setiap individu sebagai insan yang berpikir, bermartabat, dan telah merdeka. Memang di negeri ini kebebasan itu baru dirasakan sejak berhentinya rezim Soehartoe, sekitar 17 tahun silam. Tepatnya Kamis, 28 Mei 1998 babak baru pemerintahan Indonesia sebagai negara demokrasi dimulai. Setiap orang di negeri ini bebas mengeluarkan kritik dan saran melalui banyak cara seperti melakukan demo, puisi, musik, dan tulisan. Salah satu bentuk tulisan yang berisi kritik dan saran terhadap pemerintahan telah sering kita jumpai dalam bentuk karangan nonfiksi yaitu novel.
 Lupa Endonesa yang ditulis oleh Sujiwo Tejo merupakan salah satu novel yang berisi kritikan, sindiran, dan nasihat terhadap orang Indonesia mulai dari kalangan remaja hingga dewasa, termasuk di dalamnya masyarakat umum, tokoh masyarakat, artis, aktor, kalangan akademisi, khusunya para pemimpin bangsa ini, legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Novel ini lebih membahas moral anak bangsa dipadukan karakter wayang yang biasa didalangi Sujiiwo Tejo dengan analogi-analogi yang kadang sulit untuk dipahami. Anakmu bukan anakmu misalnya, dianalogikan dengan peran Semar, Gareng, dan Adipati Karna. Menurut saya, pada bagian itu Sujiwo Tejo lebih menyiratkan kritikan terhadap Tari Pendet yang lahir dari budaya Indonesia dan kini menjadi milik orang lain karena tidak ada yang memelihara dan membesarkannya. Jika ditelaah lebih dalam lagi, sebenarnya Tejo tidak hanya mengkritik hilangnya tarian warisan leluhur tersebut tetapi juga hilangnya kekayaan alam, seperti Timor-Timur. Pulau Ligitan dan Sipadan, (cari budaya yg telah hilang), dan hilangnya etika dan moral sebagai bangsa Indonesia yang merupakan warisan dari leluhur, gotong royong, santun, musyawarah dan lainnya. “Seorang ibu bukanlah orang yang melahirkan. Seorang ibu adalah orang yang merawat dan membesarkan. Janganlah kita merasa menjadi ibu yang memilki tari pendet hanya karena kita melahirkan tari pendet (budaya/warisan leluhur)”.
 Setiap manusia pasti berwujud manusia, tetapi belum tentu rasa kemanusiaan bergantung hati nuraninya. Banyak manusia yang hidup dan tinggal bahkan menjadi pemimpin di negara ini sebenarnya bukan manusia. Maraknya kasus korupsi, kelaparan, anak-anak terlantar, penculikan, pembunuhan, pemerkosaan dan tindak kejahatan lainnya yang dilakukan oleh manusia menandakan bahwa manusia itu sebenarnya tidak bergantung pada wujud tetapi bergantung pada esensi. “Kalau ada monyet, ternyata hati nuraninya tak ubahnya dengan hati manusia, berarti kemanusiaan itu tidak bergantung wujud. Kemanusiaan itu bergantung esesnsi. Sesuatuyang wujudnya adalah bukan manusia bisa saja sebenarnya sudah manusia karena esensinya adalah manusia”.

Bersambung ….



Sumber : http://fiksi.kompasiana.com/novel/2014/12/03/lupa-endonesa-1-sujiwo-tejo-707891.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar