Pemberlakukan perdagangan bebas di
kawasan ASEAN 2015 (ASEAN Free Trade Area/AFTA) sama halnya menghapus
batas-batas territorial negara. Arus perdagangan antar pelaku usaha di ASEAN
tidak lagi disekat oleh proteksi negara, melainkan dilakukan berdasar
perjanjian dagang antar perusahaan pelaku industry antar negara. Dengan kata
lain, faktor untung-rugi perusahaan menjadi kunci penentu dalam perjanjian
dagang di kawasan ASEAN. Sedang nilai-nilai kebangsaan dapat terancam tergusur
karena tidak dianggap lagi sebagai faktor penting dalam proses perdagangan.
Pertanyaannya, mungkinkah nasionalisme Indonesia akan semakin tergusur setelah
pemberlakukan AFTA 2015?
Dampak Positif dan Negatif dari
Globalisasi AFTA 2015
Secara logis, globalisasi (termasuk
AFTA 2015) sebenarnya dapat memberikan dampak positif bagi Indonesia.
Setidaknya ada tiga nilai positif dari globalisasi bagi pembangunan
nasionalisme, yakni;
- Dari sisi pengelolaan negara, pemerintahan dapat
dijalankan secara terbuka dan demokratis. Jika pemerintahan djalankan
secara jujur dan bersih tentunya akan mendapat tanggapan positif dari
rakyat dan itu dapat memperkuat rasa nasionalisme.
- Dari sisi ekonomi, terbukanya pasar internasional
(termasuk AFTA 2015) dapat memperluas jangkauan pemasaran para pelaku
industry di Indonesia. Jika mampu menguasai pasar internasional, maka hal
itu akan meningkatkan kesempatan kerja dalam negeri maupun meningkatkan
devisa negara yang dampaknya dapat memperkuat nasionalisme.
- Dari sisi budaya, ketatnya iklim persaingan bebas di
dunia internasional dapat mendorong masyarakat beradaptasi dengan
kehidupan yang beretos kerja tinggi (lebih disiplin). Mau tak mau,
masyarakat harus memperkuat kualitas diri untuk menghadapi ketatnya
persaingan agar tak ketinggalan dengan bangsa lain. Pada akhirnya, hal ini
dapat memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme.
Namun, globalisasi (termasuk AFTA
2015) juga dapat memberikan dampak negatif terhadap Indonesia. Salah satu
dampak negatif dari globalisasi itu adalah dapat mengikis nasionalisme. Gejala
merosotnya nasionalisme itu sudah mulai tampak di Indonesia sejak lama. Dari
sisi cultural, ada gejala hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri
karena Indonesia dibanjiri barang impor. Generasi muda mulai banyak yang lupa
akan identitas bangsa Indonesia sendiri tapi cenderung larut dalam gaya hidup
liberal yang kebarat-baratan[1].
Gejala Pergeseran Nasionalisme di
Indonesia
Risiko terburuk yang mungkin timbul
akibat pengaruh globalisasi (termasuk AFTA 2015) adalah tergusurnya ideologi
Pancasila oleh ideologi liberalisme. Bahkan, ada yang menganggap Pancasila
sudah “hilang” sejak reformasi lalu[2].
Menurut KH Ma’ruf Amin, di Indonesia dewasa ini ada gerakan yang berusaha
me-redefinisi nasionalisme kita menjadi nasionalisme kosmopolit atau
nasionalisme global. Nasionalisme kosmopolit itu, kata Ma’ruf, merupakan paham
yang tidak memiliki semangat ke-Indonesia-an dan tidak berakar budaya lokal
lagi. Pergeseran nasionalisme itu disebut Ma’ruf sebagai nasionalisme yang
‘kesurupan jin’ sekularisme atau nasionalisme yang ‘kesurupan jin’ globalisasi[3].
Sosiolog Universitas Indonesia,
Thamrim Amal Tomagola, juga mengungkapkan adanya gejala pergeseran nasionalisme
di Indonesia ketika tampil dalam seminar mengenang 100 tahun Dr Johannes
Leimena di Jakarta tahun 2005 silam. Thamrim tidak sepakat dengan kesimpulan
George McTurnan Kahin bahwa komunalisme di Indonesia akan tererosi dan kemudian
secara perlahan muncul nasionalisme. Sebaliknya, menurut Thamrim, komunalisme
di Indonesia tetap kuat mengakar, bahkan sepertinya mendapat momentum untuk
bangkit dan mengancam nasionalisme.
Semangat nasionalisme Indonesia
(persatuan Indonesia) yang telah berproses sejak masa Sriwijaya pada abad ke-9
silam, menurut Thamrim, kini mudah luntur dengan kecepatan yang
mengkhawatirkan. Kekhawatiran itu didasari munculnya serangkaian konflik
komunal seperti diusirnya orang Jawa dari Aceh, Madura diusir Dayak, Halmahera
dan Ambon dikapling dalam kelompok agama yang berbeda[4].
Pendapat serupa juga dipaparkan Sultani bahwa fanatisme primordial yang berakar
pada sentiment kedaerahan atau agama kini semakin mudah memicu rasa curiga dan
permusuhan sesama anak bangsa. Masyarakat mudah diprovokasi, sehingga persoalan
yang awalnya sepele pun bisa meledak, menyebar, dan meluas secara cepat (Sultani,
Kompas, 8 April 2013, hal 5 )
Pendek kata, nasionalisme di
Indonesia masa kini mendapat dua pengaruh negatif, yakni dari globalisasi
internasional dan konflik komunal dari dalam negeri. Kalau benar nasionalisme
makin tersingkir, bagaimana nasib Indonesia pada era perdagangan bebas ASEAN
2015 nanti? Mungkinkah Indonesia akan terpuruk akibat kalah bersaing dengan
bangsa lain lalu didera konflik komunal di dalam negeri? Lantas siapakah yang
paling bersalah kalau Indonesia sampai “tercerai-berai” akibat konflik komunal
dan lemahnya nasionalisme?
Menyoal Nasionalisme Aparatur Negara
Para penentu kebijakan di
pemerintahan Indonesia (baik pemerintah pusat dan daerah) pantas disebut
sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas maju-tidaknya Indonesia di
masa depan, termasuk dalam menghadapi AFTA 2015. Demokratisasi yang berlangsung
di Indonesia dewasa ini mestinya dapat mendorong terwujudnya kesejahteraan
masyarakat sesuai cita-cita bangsa Indonesia dalam UUD 1945[5].
Namun, banyak pendapat menyebutkan bahwa demokrastisasi di Indoneisa belum
menyentuh pada substansi pewujudan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa seperti yang dicita-citakan dalam UUD 1945, melainkan baru
sebatas membangun demokrasi prosedural.
Faktanya, daya saing Indonesia kini
kalah dengan negara tetangga di ASEAN (lihat angka Global Competitiveness
Index 2013–2014 yang dikeluarkan World Economic Forum[6]).
Dari sisi sumber daya manusia (SDM) masih kalah dengan Singapura, Brunei,
Malaysia, Thailand an Philipina (lihat Human Development Index Report 2013
yang dikeluarkan United Nations Development Programme)[7].
Dari sisi pengelolaan negara, Indonesia masih lemah karena korupsinya masih
lebih tinggi dari Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand dan Philipina (lihat
angka Corruption Perceptions Index (CPI) 2013 yang dikeluarkan Transparency
International [8]).
Sebaliknya dalam pengelolaan negara justru terdapat “kesesatan” yang dapat
menghambat pembangunan industri dalam negeri Indonesia. Setidaknya
seperti yang ditunjukkan Faisal Basri dalam artikel berjudul “Sesat Pikir
Industrialisasi“[9].
Walau pemerintah telah megesahkan
Undang-Undang Perindustrian baru (pengganti UU No. 5 Tahun 1984), menurut
Faisal Basri, struktur tariff (bea masuk) di Indonesia masih bersifat
anti-industrialisasi. Contohnya, impor bahan baku atau komponen dikenakan PPh
pasal 22 yang baru saja dinaikkan menjadi 7,5 persen. Kalau pabrikan mengimpor
komponen senilai 1 miliar dollar AS, harus membayar PPh pasal 22 sebesar
75 juta dollar AS. Belum berproduksi sama sekali sudah dikenakan pungutan
macam-macam. Menusut Faisal Basri, pabrik telepon genggam bakal sulit tumbuh di
Indonesia jika bea masuk untuk telepon genggam nol persen, sedangkan bea masuk
untuk komponennya berkisar antara 5 persen sampai 15 persen. Kalau strukturnya
seperti itu, jelas lebih untung mengimpor telepon genggam ketimbang
memproduksinya di dalam negeri.
Jika mencemati pandangan Faisal
Basri tersebut, maka ada insikasi terjadinya kekacauan logika dalam kebijakan
pembangunan industri dalam negeri. Logikanya, kalau dalam struktur kebijakan
pembangunan industri dalam negeri saja sudah terdapat “kesesatan pikir” yang
kurang mendukung tumbuhnya industri lokal di Indonesia, bagaimana mungkin
nasionalisme Indonesia dapat dijaga dalam menghadapai persaingan bebas ASEAN
nanti? Jangan-jangan, nasionalisme para pengusaha Indonesia akan makin luntur
oleh kebijakan aneh yang ditetapkan oleh para aparatur negara sendiri. Betapa
tidak, selain adanya indikasi “sesat pikir” tersebut, birokrasi Indonesia dalam
ekspor-impor juga masih sering dikeluhkan berbelit-belit.
Menagih Konsistensi Apartur dan
Ketegasan Hukum
Untuk itu, konsistensi para aparatur
negara dalam pembangunan industri perlu dipertanyakan lagi. Setidaknya,
kebijakan pemerintah dalam indstrialisasi Indonesia masih perlu singkronisasi
ulang (baik itu dari sisi aturan hukum, struktrur tariff ekspor-impor,
birokrasi ekspor impor hingga kebijakan pemerintah dalam menjalankan tugas
utamanya terkait peningkatkan mutu sumber daya manusia, penyediaan
infrastruktur dan pembangunan teknologi). Selain masih perlu singkronisasi
kebijakan, ketegasan aparatur pemerintah dalam penegakan hukum (khusunya
dalam mencegah/penindakan korupsi, suap dan penyelundupan) juga sangat
diperlukan.
Kalau “sesat pikir” dalam
industrialisasi Indonesia tidak diluruskan melalui singkronisasi, boleh jadi
daya saing Indonesia akan sulit meningkat dan dapat melunturkan nasionalisme di
kalangan pelaku industry dalam negeri. Terlebih jika tidak ada tindakan tegas
terhadap birokrat korup, maka kekhawatiran akan “hilangnya” Pancasila dan
nasionalisme akan dapat menjadi kenyataan di tengah pelaksanaan AFTA 2015
nanti. Dampaknya tentu akan lebih mengkhawatirkan lagi jika kekalahan dalam
persaingan global nanti diperparah oleh konflik-konflik komunal yang belakangan
mudah muncul di berbagai daerah. Namun kalau Indonesia dapat segera menata diri
dengan landasan semangat nasionalisme cukup kuat seperti yang ditunjukkan
Jepang pasca kekalahan Perang Dunia ke-2 (setelah dibom atom), Indonesia masih
punya potensi untuk bangkit menjadi negara raksasa di ASEAN. [Sutrisno
Budiharto]
[1] Fathurrohman SPd.MPd; “Globalisasi dan Nasionalisme”;
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta; uny.ac.id
[3] KH Ma’ruf Amin ; “PBNU: Nasionalisme Indonesia Sedang
Terancam”; NU Online (nu.or.id) - 22/06/2007.
[7] Human Development Index (HDI) Report 2013; United
Nations Development Programme (UNDP); http://hdr.undp.org.
Sumber : http://www.kompasiana.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar