Jumat, 12 Desember 2014

Globalisasi AFTA 2015, Nasionalisme dan Ancamannya

Pemberlakukan perdagangan bebas di kawasan ASEAN 2015 (ASEAN Free Trade Area/AFTA) sama halnya menghapus batas-batas territorial negara. Arus perdagangan antar pelaku usaha di ASEAN tidak lagi disekat oleh proteksi negara, melainkan dilakukan berdasar perjanjian dagang antar perusahaan pelaku industry antar negara. Dengan kata lain, faktor untung-rugi perusahaan menjadi kunci penentu dalam perjanjian dagang di kawasan ASEAN. Sedang nilai-nilai kebangsaan dapat terancam tergusur karena tidak dianggap lagi sebagai faktor penting dalam proses perdagangan. Pertanyaannya, mungkinkah nasionalisme Indonesia akan semakin tergusur setelah pemberlakukan AFTA 2015?
Dampak Positif dan Negatif dari Globalisasi AFTA 2015
Secara logis, globalisasi (termasuk AFTA 2015) sebenarnya dapat memberikan dampak positif bagi Indonesia. Setidaknya ada tiga nilai positif dari globalisasi bagi pembangunan nasionalisme, yakni;
  • Dari sisi pengelolaan negara, pemerintahan dapat dijalankan secara terbuka dan demokratis. Jika pemerintahan djalankan secara jujur dan bersih tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat dan itu dapat memperkuat rasa nasionalisme.
  • Dari sisi ekonomi, terbukanya pasar internasional (termasuk AFTA 2015) dapat memperluas jangkauan pemasaran para pelaku industry di Indonesia. Jika mampu menguasai pasar internasional, maka hal itu akan meningkatkan kesempatan kerja dalam negeri maupun meningkatkan devisa negara yang dampaknya dapat memperkuat nasionalisme.
  • Dari sisi budaya, ketatnya iklim persaingan bebas di dunia internasional dapat mendorong masyarakat beradaptasi dengan kehidupan yang beretos kerja tinggi (lebih disiplin). Mau tak mau, masyarakat harus memperkuat kualitas diri untuk menghadapi ketatnya persaingan agar tak ketinggalan dengan bangsa lain. Pada akhirnya, hal ini dapat memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme.
Namun, globalisasi (termasuk AFTA 2015) juga dapat memberikan dampak negatif terhadap Indonesia. Salah satu dampak negatif dari globalisasi itu adalah dapat mengikis nasionalisme. Gejala merosotnya nasionalisme itu sudah mulai tampak di Indonesia sejak lama. Dari sisi cultural, ada gejala hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena Indonesia dibanjiri barang impor. Generasi muda mulai banyak yang lupa akan identitas bangsa Indonesia sendiri tapi cenderung larut dalam gaya hidup liberal yang kebarat-baratan[1].
Gejala Pergeseran Nasionalisme di Indonesia
Risiko terburuk yang mungkin timbul akibat pengaruh globalisasi (termasuk AFTA 2015) adalah tergusurnya ideologi Pancasila oleh ideologi liberalisme. Bahkan, ada yang menganggap Pancasila sudah “hilang” sejak reformasi lalu[2]. Menurut KH Ma’ruf Amin,  di Indonesia dewasa ini ada gerakan yang berusaha me-redefinisi nasionalisme kita menjadi nasionalisme kosmopolit atau nasionalisme global. Nasionalisme kosmopolit itu, kata Ma’ruf, merupakan paham yang tidak memiliki semangat ke-Indonesia-an dan tidak berakar budaya lokal lagi. Pergeseran nasionalisme itu disebut Ma’ruf sebagai nasionalisme yang ‘kesurupan jin’ sekularisme atau nasionalisme yang ‘kesurupan jin’ globalisasi[3].
Sosiolog Universitas Indonesia, Thamrim Amal Tomagola, juga mengungkapkan adanya gejala pergeseran nasionalisme di Indonesia ketika tampil dalam seminar mengenang 100 tahun Dr Johannes Leimena di Jakarta tahun 2005 silam. Thamrim tidak sepakat dengan kesimpulan George McTurnan Kahin bahwa komunalisme di Indonesia akan tererosi dan kemudian secara perlahan muncul nasionalisme. Sebaliknya, menurut Thamrim, komunalisme di Indonesia tetap kuat mengakar, bahkan sepertinya mendapat momentum untuk bangkit dan mengancam nasionalisme.
Semangat nasionalisme Indonesia (persatuan Indonesia) yang telah berproses sejak masa Sriwijaya pada abad ke-9 silam, menurut Thamrim, kini mudah luntur dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Kekhawatiran itu didasari munculnya serangkaian konflik komunal seperti diusirnya orang Jawa dari Aceh, Madura diusir Dayak, Halmahera dan Ambon dikapling dalam kelompok agama yang berbeda[4]. Pendapat serupa juga dipaparkan Sultani bahwa fanatisme primordial yang berakar pada sentiment kedaerahan atau agama kini semakin mudah memicu rasa curiga dan permusuhan sesama anak bangsa. Masyarakat mudah diprovokasi, sehingga persoalan yang awalnya sepele pun bisa meledak, menyebar, dan meluas secara cepat (Sultani, Kompas, 8 April 2013, hal 5 )
Pendek kata, nasionalisme di Indonesia masa kini mendapat dua pengaruh negatif, yakni dari globalisasi internasional dan konflik komunal dari dalam negeri. Kalau benar nasionalisme makin tersingkir, bagaimana nasib Indonesia pada era perdagangan bebas ASEAN 2015 nanti? Mungkinkah Indonesia akan terpuruk akibat kalah bersaing dengan bangsa lain lalu didera konflik komunal di dalam negeri? Lantas siapakah yang paling bersalah kalau Indonesia sampai “tercerai-berai” akibat konflik komunal dan lemahnya nasionalisme?
Menyoal Nasionalisme Aparatur Negara
Para penentu kebijakan di pemerintahan Indonesia (baik pemerintah pusat dan daerah) pantas disebut sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas maju-tidaknya Indonesia di masa depan, termasuk dalam menghadapi AFTA 2015. Demokratisasi yang berlangsung di Indonesia dewasa ini mestinya dapat mendorong terwujudnya kesejahteraan masyarakat sesuai cita-cita bangsa Indonesia dalam UUD 1945[5]. Namun, banyak pendapat menyebutkan bahwa demokrastisasi di Indoneisa belum menyentuh pada substansi pewujudan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang dicita-citakan dalam UUD 1945, melainkan baru sebatas membangun demokrasi prosedural.
Faktanya, daya saing Indonesia kini kalah dengan negara tetangga di ASEAN (lihat angka Global Competitiveness Index 2013–2014 yang dikeluarkan World Economic Forum[6]). Dari sisi sumber daya manusia (SDM) masih kalah dengan Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand an Philipina (lihat Human Development Index Report 2013 yang dikeluarkan United Nations Development Programme)[7]. Dari sisi pengelolaan negara, Indonesia masih lemah karena korupsinya masih lebih tinggi dari Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand dan Philipina (lihat angka Corruption Perceptions Index (CPI) 2013 yang dikeluarkan Transparency International [8]). Sebaliknya dalam pengelolaan negara justru terdapat “kesesatan” yang dapat menghambat pembangunan industri dalam negeri Indonesia.  Setidaknya seperti yang ditunjukkan Faisal Basri dalam artikel berjudul “Sesat Pikir Industrialisasi[9].
Walau pemerintah telah megesahkan Undang-Undang Perindustrian baru (pengganti UU No. 5 Tahun 1984), menurut Faisal Basri, struktur tariff (bea masuk) di Indonesia masih bersifat anti-industrialisasi. Contohnya, impor bahan baku atau komponen dikenakan PPh pasal 22 yang baru saja dinaikkan menjadi 7,5 persen. Kalau pabrikan mengimpor komponen senilai 1 miliar dollar AS, harus membayar PPh pasal 22 sebesar  75 juta dollar AS. Belum berproduksi sama sekali sudah dikenakan pungutan macam-macam. Menusut Faisal Basri, pabrik telepon genggam bakal sulit tumbuh di Indonesia jika bea masuk untuk telepon genggam nol persen, sedangkan bea masuk untuk komponennya berkisar antara 5 persen sampai 15 persen. Kalau strukturnya seperti itu, jelas lebih untung mengimpor telepon genggam ketimbang memproduksinya di dalam negeri.
Jika mencemati pandangan Faisal Basri tersebut, maka ada insikasi terjadinya kekacauan logika dalam kebijakan pembangunan industri dalam negeri. Logikanya, kalau dalam struktur kebijakan pembangunan industri dalam negeri saja sudah terdapat “kesesatan pikir” yang kurang mendukung tumbuhnya industri lokal di Indonesia, bagaimana mungkin nasionalisme Indonesia dapat dijaga dalam menghadapai persaingan bebas ASEAN nanti? Jangan-jangan, nasionalisme para pengusaha Indonesia akan makin luntur oleh kebijakan aneh yang ditetapkan oleh para aparatur negara sendiri. Betapa tidak, selain adanya indikasi “sesat pikir” tersebut, birokrasi Indonesia dalam ekspor-impor juga masih sering dikeluhkan berbelit-belit.
Menagih Konsistensi Apartur dan Ketegasan Hukum
Untuk itu, konsistensi para aparatur negara dalam pembangunan industri perlu dipertanyakan lagi. Setidaknya, kebijakan pemerintah dalam indstrialisasi Indonesia masih perlu singkronisasi ulang (baik itu dari sisi aturan hukum, struktrur tariff ekspor-impor, birokrasi ekspor impor hingga kebijakan pemerintah dalam menjalankan tugas utamanya terkait peningkatkan mutu sumber daya manusia, penyediaan infrastruktur dan pembangunan teknologi). Selain masih perlu singkronisasi kebijakan,  ketegasan aparatur pemerintah dalam penegakan hukum (khusunya dalam mencegah/penindakan korupsi, suap dan penyelundupan) juga sangat diperlukan.
Kalau “sesat pikir” dalam industrialisasi Indonesia tidak diluruskan melalui singkronisasi, boleh jadi daya saing Indonesia akan sulit meningkat dan dapat melunturkan nasionalisme di kalangan pelaku industry dalam negeri. Terlebih jika tidak ada tindakan tegas terhadap birokrat korup, maka kekhawatiran akan “hilangnya” Pancasila dan nasionalisme akan dapat menjadi kenyataan di tengah pelaksanaan AFTA 2015 nanti. Dampaknya tentu akan lebih mengkhawatirkan lagi jika kekalahan dalam persaingan global nanti diperparah oleh konflik-konflik komunal yang belakangan mudah muncul di berbagai daerah. Namun kalau Indonesia dapat segera menata diri dengan landasan semangat nasionalisme cukup kuat seperti yang ditunjukkan Jepang pasca kekalahan Perang Dunia ke-2 (setelah dibom atom), Indonesia masih punya potensi untuk bangkit menjadi negara raksasa di ASEAN.  [Sutrisno Budiharto]

[1] Fathurrohman SPd.MPd; “Globalisasi dan Nasionalisme”; Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta; uny.ac.id
[2] “Pancasila Hilang Sejak Reformasi”; NU Online (nu.or.id) - 04 Juni 2007.
[3] KH Ma’ruf Amin ; “PBNU: Nasionalisme Indonesia Sedang Terancam”; NU Online (nu.or.id) - 22/06/2007.
[4] “Nasionalisme Indonesia Terancam Komunalisme”, Kompas - 26 September 2005
[5] Terumuskan dalam pasal-pasl Undang-Undang Dasar 1945 dan pembukaan UUD 1945.
[6] Global Competitiveness Index 2013–2014; World Economic Forum; - http://www3.weforum.org.
[7] Human Development Index (HDI) Report 2013; United Nations Development Programme (UNDP); http://hdr.undp.org.
[8] Corruption Perceptions Index (CPI) 2013; Transparency International; www.transparency.org.
[9] Faisal Basri; “Sesat Pikir Industrialisasi”; Kompasiana 27 Februari 2014.

Sumber : http://www.kompasiana.com/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar