Sejak
proklamasi di deklarasikan sebagai tanda lahirnya negara Indonesia, berbagai
dinamika dihadapi sebagai sebuah proses menjadi besar. Tidak mudah, dan
mestinya kita bersyukur bisa melewati masa-masa berat tersebut. Sekarang, di
abad 21 ini, dimana tantangan global dan kemajuan teknologi semakin maju,
dimana terdapat 136 negara berkompetisi untuk mendapatkan keuntungan terbanyak
dalam prosese ekonomi global, apakah Indonesia sudah siap menjadi lawan kuat
bagi negara lain? Siapkah pemuda Indonesia menjadi aktor utama dalam memberi
sumbangan bagi peradaban dunia?
Setelah
melewati fase merebut kemerdekaan, tugas belumlah selesai. Alir pikir dan
ide-ide para tokoh Indonesia dulu dalam membangun negara kedepannya, menjadi
asa dan harapan bagi mereka untuk melihat Indonesia menjadi bangsa yang besar.
Dulu, Bung Karno menyatakan, Marhaenisme adalah fondasi paling pas untuk
menjadi tonggak kejayaan Indonesia. Apa Marhaenisme itu? Yang membuat Bung
Karno bersikukuh mempertahankannya? Masih adakah nilai-nilainya sekarang?
Sejenak mari melihat masa lampau.
Apakah,
di zaman sekarang, nilai-nilai Marhaenisme masih pas untuk Indonesia ?
Marhaenisme,
suatu ideologi yang dicetuskan Bung Karno sebagai political views yang cocok
diimplementasikan di Indonesia. Soekarno menyebut, Marhaenisme merupakan
pengembangan Marxisme yang diterapkan sesuai dengan budaya dan kondisi alam
Indonesia. Ada dua prinsip Marhaenisme, yakni sosio-nasionalisme dan
sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme merupakan ajaran tentang nasionalisme
dengan tujuan menyatukan bangsa Indonesia dan membebaskannya dari segala
penindasan dan penjajahan. Nasionalismenya mempunyai ciri khas yaitu mengakui
persamaan hak manusia dan persamaan hak bangsa-bangsa. Dengan demikian
sosio-nasionalisme dikatakan sebagai nasionalisme yang anti-kapitalisme
dan anti-imperialisme. Sementara itu, sosio-demokrasi merupakan gagasan reaktif
Sukarno terhadap demokrasi barat yang lahir dari paham liberalisme. Paham
liberalisme dimengerti Sukarno sebagai ajaran yang hanya memberikan kebebasan
di bidang politik namun tak menjamin kebebasan di bidang ekonomi. Sukarno
menunjuk bahwa di negeri-negeri yang menganut demokrasi parlementer liberal,
kapitalisme merajalela. Beliau memberikan solusi, yaitu demokrasi di bidang
politik sekaligus demokrasi di bidang ekonomi. Intinya mau memberikan kesamaan
hak bukan hanya di bidang politik tapi juga di bidang ekonomi.
Dasar
negara, yakni Pancasila meski pembuatannya mengakomodasi pendapat orang lain,
ia mengandung unsur kental Marhaenisme. Sebegitulah pikat Marhaenisme pada
pengembangan Indonesia. Namun, pada kondisi sekarang, Marhaenisme seolah-olah
terkubur. Perjalananan bangsa Indonesia, melewati Orde Baru, adalah salah satu
faktor yang mengubur Marhaenisme. Referensi tekstual maupun oral pun
sudah sulit ditemukan. Dari ideologi murni, pihak yang memaknai Marhaenisme
hanyalah Bung Karno. Sekarang hanya ada beberapa produk hukum yang didorong
Marhaenisme Soekarno, contoh reforma agraria ( pembatasan kepemilikan tanah
untuk dikembalikan kepemilikannya ke masyarakat, untuk mereka yang bisa
mengelola). Juga sebab Marhaenisme lapuk, adalah kapitalisme, liberal,
rasionalis yang merajalela ke Indonesia.
“Permasalahan
cocok atau tidak cocoknya Marhaenisme diterapkan di Indonesia, diangkat dari
kenapa Bung Karno bicara soal sosio nasionalisme dan sosio demokrasi. Beliau
berbicara pada tanggal 1 Juni 1945, dengan pendahuluan tentang jembatan emas
kemerdekaan dan perbandingan negara merdeka. Beliau memasuki bahasan ketika
berbicara hal pokok dan mendasar yakni, di atas mana kita mendirikan negara
Indonesia itu. Menurut beliau, Indonesia merdeka dibangun atas gotong royong
yang dengan demikian menjadi warna atas tafsir pancasila sebagai kesepakatan.
Nilai Marhaenisme dalam kontex itu masih relevan untuk Indonesia”, menurut
pandangan Sulaiman Sujono, ( FIM 7, peneliti Komisi Hukum Nasional ).
Ideologi
Marhaenisme, menjunjung negara kesatuan sebagai bentuk negara. Pada pidato
beliau tanggal 1 Juni 1945, beliau berkata “Nasionalisme Indonesia, atau negara
kesatuan merupakan sebuah takdir”. Hingga istilah NKRI harga mati muncul
ketika tahun 1999 – 2002, pada saat amandemen UUD 1945. Isinya, pembukaan UUD
tidak akan disentuh dan bentuk NKRI tidak akan diubah. Ada pihak yang setuju,
ada pula yang tidak. Faktanya, dalam sejarah Indonesia, ada beberapa daerah
yang ingin memerdekakan diri, terutama setelah Timor-timor lepas. Gerakan Aceh
Merdeka (GAM ) dan Operasi Papua Merdeka ( OPM ) adalah contoh. Berbagai faktor
kekurangmerataan ekonomi dan pengingkaran janji menjadi alasan. Meski Indonesia
masih NKRI, hal ini sepatutnya harus dipelajari. Apakah harus berpikir ulang
akan keefektifan NKRI?
Jikalau
ketidakmerataan pembangunan di beberapa daerah berlanjut, ini bisa menimbulkan
kecemburuan dan memancing gerakan yang sama. Jikalau ingin tetap mempertahankan
NKRI, perlu diperhatikan kebijakan pemerataan dalam pembangunan ekonomi oleh
pemerintah. Tidak semua daerah mempunyai sumber daya alam mumpuni. Masyarakat
juga pasti ingin dampak baik setelah hal-hal yang mereka sumbangkan, semisal
pembayaran pajak. Jangan sampai ada! Kekurangan perhatian pemerintah.
menyebabkan asumsi untuk daerah lain memerdekakan diri. Dulu, pernah dibentuk
Belanda negara dengan konsep federasi, yakni RIS ( Republik Indonesia Serikat
). Apakah perlu Federalime diterapkan kembali? Menurut Bening Tirta, ( FIM 12,
Kabid Pendidikan PPI NTU ), dari beberapa segi, konsep federasi mempunyai
sistem otonomi/desentralisasi yang sudah ada, dan tinggal disesuaikan kembali
untuk effisiensi konsep negara. Dari segi hukum, antrean kasus KPK bisa
diminimalisir dengan cara per “negara bagian” mempunyai KPK sendiri. Yang
pasti, para pemimpin daerah sudah mesti arif dalam pemerataan ekonomi dari
pemerintah pusat.
Marhaenisme,
digali Bung Karno dari lubuk hati bangsa Indonesia. Semestinya, karakter itu
masih melekat di sanubari anak bangsa. Salah satu nilai Marhaenisme yang perlu
dipahami dan dilakukan, adalah gotong royong. Ini nilai yang wajib diangkat
untuk menghadapi persaingan global, Liberalisme, Kapitalisme. Tentu saja
disesuaikan dan diubah seperlunya sesuai kebutuhan dan perkembangan zaman sekarang.
Ia mesti mencangkup unsur-unsur untuk membangun Indonesia agar lebih baik.
Marhaenisme mempunyai beberapa nilai-nilai relevan berkarakter
keIndonesiaan dan masih punya potensi untuk menjadi fondasi bangsa. Kita
mesti menggali nilai-nilai Indonesia yang sesungguhnya. Memperjuangkan hal
tersebut hingga Indonesia kembali menjadi negara yang disegani. Pun sejatinya,
para pemimpin dulu mempunyai ide-ide bagus soal pengembangan negara. Hatta
bilang dengan pelabuhan yang kuat, Habibie dengan pesawat. Ide-ide yang
mengutamakan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian kerakyatan perlu
dipertimbangkan kembali.
Mungkin
in pertanyaan yang perlu proses lama untuk dijawab. Ideologi apa yang paling
sesuai untuk Indonesia, hingga rakyatnya sejahtera, harum namanya di kalangan
pergaulan internasional? Sebuah ideologi unik, untuk negara seunik Indonesia.
Memang unik Indonesia ini, benang merahnya masih tersembunyi di rantai pulau
dan corak budaya alam. Semoga, ilham tersebut sampai pada setiap rakyat
Indonesia yang senantiasa berkarya untuk kejayaan bangsa. Aamiin.
Sumber : http://www.kompasiana.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar