Selasa, 07 Oktober 2014

Marhaenisme kata Soekarno, Apa Kata Zaman Sekarang?

Sejak proklamasi di deklarasikan sebagai tanda lahirnya negara Indonesia, berbagai dinamika dihadapi sebagai sebuah proses menjadi besar. Tidak mudah, dan mestinya kita bersyukur bisa melewati masa-masa berat tersebut. Sekarang, di abad 21 ini, dimana tantangan global dan kemajuan teknologi semakin maju, dimana terdapat 136 negara berkompetisi untuk mendapatkan keuntungan terbanyak dalam prosese ekonomi global, apakah Indonesia sudah siap menjadi lawan kuat bagi negara lain? Siapkah pemuda Indonesia menjadi aktor utama dalam memberi sumbangan bagi peradaban dunia?
Setelah melewati fase merebut kemerdekaan, tugas belumlah selesai. Alir pikir dan ide-ide para tokoh Indonesia dulu dalam membangun negara kedepannya, menjadi asa dan harapan bagi mereka untuk melihat Indonesia menjadi bangsa yang besar. Dulu, Bung Karno menyatakan, Marhaenisme adalah fondasi paling pas untuk menjadi tonggak kejayaan Indonesia. Apa Marhaenisme itu? Yang membuat Bung Karno bersikukuh mempertahankannya? Masih adakah nilai-nilainya sekarang? Sejenak mari melihat masa lampau.
Apakah, di zaman sekarang, nilai-nilai Marhaenisme masih pas untuk Indonesia ?
Marhaenisme, suatu ideologi yang dicetuskan Bung Karno sebagai political views yang cocok diimplementasikan di Indonesia. Soekarno menyebut, Marhaenisme merupakan pengembangan Marxisme yang diterapkan sesuai dengan budaya dan kondisi alam Indonesia. Ada dua prinsip Marhaenisme, yakni sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme merupakan ajaran tentang nasionalisme dengan tujuan menyatukan bangsa Indonesia dan membebaskannya dari segala penindasan dan penjajahan. Nasionalismenya mempunyai ciri khas yaitu mengakui persamaan hak manusia dan persamaan hak bangsa-bangsa. Dengan demikian sosio-nasionalisme dikatakan sebagai  nasionalisme yang anti-kapitalisme dan anti-imperialisme. Sementara itu, sosio-demokrasi merupakan gagasan reaktif Sukarno terhadap demokrasi barat yang lahir dari paham liberalisme. Paham liberalisme dimengerti Sukarno sebagai ajaran yang hanya memberikan kebebasan di bidang politik namun tak menjamin kebebasan di bidang ekonomi. Sukarno menunjuk bahwa di negeri-negeri yang menganut demokrasi parlementer liberal, kapitalisme merajalela. Beliau memberikan solusi, yaitu demokrasi di bidang politik sekaligus demokrasi di bidang ekonomi. Intinya mau memberikan kesamaan hak bukan hanya di bidang politik tapi juga di bidang ekonomi.
Dasar negara, yakni Pancasila meski pembuatannya mengakomodasi pendapat orang lain, ia mengandung unsur kental Marhaenisme. Sebegitulah pikat Marhaenisme pada pengembangan Indonesia. Namun, pada kondisi sekarang, Marhaenisme seolah-olah terkubur. Perjalananan bangsa Indonesia, melewati Orde Baru, adalah salah satu faktor  yang mengubur Marhaenisme. Referensi tekstual maupun oral pun sudah sulit ditemukan. Dari ideologi murni, pihak yang memaknai Marhaenisme hanyalah Bung Karno. Sekarang hanya ada beberapa produk hukum yang didorong Marhaenisme Soekarno, contoh reforma agraria ( pembatasan kepemilikan tanah untuk dikembalikan kepemilikannya ke masyarakat, untuk mereka yang bisa mengelola). Juga sebab Marhaenisme lapuk, adalah kapitalisme, liberal, rasionalis yang merajalela ke Indonesia.
“Permasalahan cocok atau tidak cocoknya Marhaenisme diterapkan di Indonesia, diangkat dari kenapa Bung Karno bicara soal sosio nasionalisme dan sosio demokrasi. Beliau berbicara pada tanggal 1 Juni 1945, dengan pendahuluan tentang jembatan emas kemerdekaan dan perbandingan negara merdeka. Beliau memasuki bahasan ketika berbicara hal pokok dan mendasar yakni, di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu. Menurut beliau, Indonesia merdeka dibangun atas gotong royong yang dengan demikian menjadi warna atas tafsir pancasila sebagai kesepakatan. Nilai Marhaenisme dalam kontex itu masih relevan untuk Indonesia”, menurut pandangan Sulaiman Sujono, ( FIM 7, peneliti Komisi Hukum Nasional ).
Ideologi Marhaenisme, menjunjung negara kesatuan sebagai bentuk negara. Pada pidato beliau tanggal 1 Juni 1945, beliau berkata “Nasionalisme Indonesia, atau negara kesatuan merupakan sebuah takdir”.  Hingga istilah NKRI harga mati muncul ketika tahun 1999 – 2002, pada saat amandemen UUD 1945. Isinya, pembukaan UUD tidak akan disentuh dan bentuk NKRI tidak akan diubah. Ada pihak yang setuju, ada pula yang tidak. Faktanya, dalam sejarah Indonesia, ada beberapa daerah yang ingin memerdekakan diri, terutama setelah Timor-timor lepas. Gerakan Aceh Merdeka (GAM ) dan Operasi Papua Merdeka ( OPM ) adalah contoh. Berbagai faktor kekurangmerataan ekonomi dan pengingkaran janji menjadi alasan. Meski Indonesia masih NKRI, hal ini sepatutnya harus dipelajari. Apakah harus berpikir ulang akan keefektifan NKRI?
Jikalau ketidakmerataan pembangunan di beberapa daerah berlanjut, ini bisa menimbulkan kecemburuan dan memancing gerakan yang sama. Jikalau ingin tetap mempertahankan NKRI, perlu diperhatikan kebijakan pemerataan dalam pembangunan ekonomi oleh pemerintah. Tidak semua daerah mempunyai sumber daya alam mumpuni. Masyarakat juga pasti ingin dampak baik setelah hal-hal yang mereka sumbangkan, semisal pembayaran pajak. Jangan sampai ada! Kekurangan perhatian pemerintah. menyebabkan asumsi untuk daerah lain memerdekakan diri. Dulu, pernah dibentuk Belanda negara dengan konsep federasi, yakni RIS ( Republik Indonesia Serikat ). Apakah perlu Federalime diterapkan kembali? Menurut Bening Tirta, ( FIM 12, Kabid Pendidikan PPI NTU ), dari beberapa segi, konsep federasi mempunyai sistem otonomi/desentralisasi yang sudah ada, dan tinggal disesuaikan kembali untuk effisiensi konsep negara. Dari segi hukum, antrean kasus KPK bisa diminimalisir dengan cara per “negara bagian” mempunyai KPK sendiri. Yang pasti, para pemimpin daerah sudah mesti arif dalam pemerataan ekonomi dari pemerintah pusat.
Marhaenisme, digali Bung Karno dari lubuk hati bangsa Indonesia. Semestinya, karakter itu masih melekat di sanubari anak bangsa. Salah satu nilai Marhaenisme yang perlu dipahami dan dilakukan, adalah gotong royong. Ini nilai yang wajib diangkat untuk menghadapi persaingan global, Liberalisme, Kapitalisme. Tentu saja disesuaikan dan diubah seperlunya sesuai kebutuhan dan perkembangan zaman sekarang. Ia mesti mencangkup unsur-unsur untuk membangun Indonesia agar lebih baik. Marhaenisme mempunyai beberapa nilai-nilai relevan berkarakter keIndonesiaan dan masih punya potensi untuk menjadi fondasi bangsa. Kita mesti menggali nilai-nilai Indonesia yang sesungguhnya. Memperjuangkan hal tersebut hingga Indonesia kembali menjadi negara yang disegani. Pun sejatinya, para pemimpin dulu mempunyai ide-ide bagus soal pengembangan negara. Hatta bilang dengan pelabuhan yang kuat, Habibie dengan pesawat. Ide-ide yang mengutamakan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian kerakyatan perlu dipertimbangkan kembali.
Mungkin in pertanyaan yang perlu proses lama untuk dijawab. Ideologi apa yang paling sesuai untuk Indonesia, hingga rakyatnya sejahtera, harum namanya di kalangan pergaulan internasional? Sebuah ideologi unik, untuk negara seunik Indonesia. Memang unik Indonesia ini, benang merahnya masih tersembunyi di rantai pulau dan corak budaya alam. Semoga, ilham tersebut sampai pada setiap rakyat Indonesia yang senantiasa berkarya untuk kejayaan bangsa. Aamiin.

Sumber : http://www.kompasiana.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar