Sedikit jika kita lebih kritis dalam
melihat ilmu sejarah, kita akan lebih besar lagi merasa tercengang bila
mengetahuinya. Betapa tidak, sejatinya sejarah banyak ditulis oleh orang demi
orang dari sebelum masehi sampai abad modern kali ini, tujuannya adalah agar
orang lebih bijak dalam melangkah kedepan. Seperti ungkapan filsuf romawi,
Cicero pernah mengatakan bahwa Historia
Vitae Magistra (Sejarah adalah guru kehidupan), Bila kita mencoba berfikir
lebih jernih, maka sungguh penting sejarah bagi kehidupan kita ini-tanpa
merendahkan ilmu yang lain yang juga tak kalah penting- khususnya dalam
melangkahkan hidup kedepan yang tentunya itu takan bisa berhasil dengan baik
tanpa adanya bekal pengalaman-pengalaman dari yang terdahulu. Akan tetapi dalam
perjalanannya menuju kesempurnaan sejarah (rapprochement),
banyak orang yang melukai sejarah itu sendiri. Banyak orang yang telah
mempelajari sejarah tetapi dalam tingkah lakunya tak mencerminkan jiwa yang
bijak dalam melangkah. Bisa kita lihat masih banyaknya korupsi, suap,
budaya-budaya buruk bangsa ini yang banyak melukai hati dan perasaan orang lain
masih tumbuh subur di bumi pertiwi. Akankah sejarah dipelajari oleh banyak
manusia hanya untuk dihafalkan guna mendapatkan nilai maupun tepuk tangan orang
lain dan kemudian hilang begitu saja seiring berkembangnya waktu?.
Padahal dalam sejarah-kembali
menurut Cicero-, bahwa hukum pertama dalam sejarah adalah takut mengatakan
kebohongan, hukum berikutnya tidak takut mengatakan kebenaran. Nah, jika kita
memang benar-benar menghayati sejarah, maka berbagai ilmu-ilmu tentang
kebajikan dan budi pekerti luhur akan tercerna pada diri kita sebagaimana
tingkat tertinggi pemahaman kita terhadap sejarah yakni adanya kesadaran
sejarah. Orang yang benar-benar sadar akan sejarah akan melangkah dengan penuh
pertimbangan sebelumnya. Tindakan ini akan menimbulkan hal yang bagaiamana,
orang tersebut sudah bisa memperkirakan hal yang akan terjadi di depan.
Maka jika memang bangsa Indonesia
sudah mengaku belajar dari sejarah, mengapa persoalan yang sama seperti
pemerintahan yang busuk dengan penuh compang-campingnnya supremasi hukum masih
terjadi, korupsi dengan berbagai versi dan modus masih marak ditemui. Kemudian
kekerasan yang mengatasnamakan agama, suku, dan ideologi masih sering berlalu lalang
ditelevisi dan media lainnya. Lebih dari itu, apakah sejarah bangsa Indonesia
pada dasarnya hanyalah sejarah kelahiran suatu kekuasaan, naik kepuncak
kejayaan dan kemudian untuk jatuh secara tragis? Mungkinkah tragedi berdarah
1965-1966 akan terulangi lagi? Mungkinkah Indonesia akan kembali terjajah?
Jawabannya pada diri kita generasi sekarang yang akan memegang tampuk
kepemimpinan bangsa ini. Apakah negara ini akan maju dan makmur seperti impian
kita selama ini, ataukah negara ini akan tetap rakyatnya menjadi budak di tanah
kelahiran sendiri, itu tergantung generasi muda sekarang.
Dengan melihat berbagai
peristiwa-peristiwa sejarah yang masih banyak dengan penyumbatan untuk
dituturkan secara terbuka. Kita nampaknya harus melakukan sebuah revolusi dalam
sejarah, revolusi penulisan sejarah yang benar-benar tidak ditutupi. Kita bisa
tengok peran pahlawan nasional Tan Malaka dalam proses kemerdekaan Republik
Indonesia sangat luar biasa, sejajar dengan Syahrir, Hatta bahkan Soekarno.
Tetapi nama beliau nyaris tak disebut dalam pelajaran-pelajaran sekolah secara
formal, sekali disebut maka Tan Malaka dicap sebagai dalang pemberontakan. Ada
lagi peristiwa pembantaian jendral di tahun 1965 yang menurut versi sepihak
dari pemerintah saat itu (Orde Baru) yakni PKI(Partai Komunis Indonesia)sebagai
tersangka utama tanpa adanya proses pengadilan yang adil, dan kesemua dari
simpatisan PKI di bunuh lebih dari limaratus ribu orang dan tak sedikit di
asingan bahkan sampai mati. Bukan hanya itu akibat pembelotan sejarah tersebut
banyak orang yang orangtua atau keturunannya PKI ataupun hanya simpatisan,
tidak serta merta diterima oleh masyarakat secara umum. Banyak dari orang-orang
tersebut apabila melamar PNS(Pegawai Negeri Sipil)sangat sulit untuk diterima
dan bahkan tidak bisa. Ada juga bila terjadi pernikahan salah satunya dari
keturunan PKI maka secara otomatis hal itu akan di batalkan lantaran oleh
omongan dan ocehan masyarakat sekitar. Inilah sedikit akibat buruk yang jauh
dari kata keadilan, akibat dari pembelotan dalam penulisan sejarah yang kurang fair dari pemerintah. Ya itulah sejarah,
ada yang menyebutkan “milik penguasa”. Tetapi itu sejatinya tinggal kita
sebagai bangsa Indonesia menerimanya atau tidak, dengan berbagai akibat buruk
yang dihadirkan
Jadi bila kita simpulkan, untuk
melihat sebab orang berbuat tidak sesuai dengan apa yang dipelajarinya di
sejarah, sehingga tidak bisa dipakai untuk melangkah dikemudian harinya
disebabkan oleh dua kemungkinan. Yang
pertama, memang dari orang tersebut kurang adanya rasa kesadaran sejarah
meskipun dalam pangkat maupun jabatannya memungkinkan ia selama belajar
mendalami sejarah itu sendiri. Jadi ia belajar sejarah hanya dipakai untuk
berdiskusi semata, untuk menjual omongan belaka dan bisa untuk mengejar nilai
belaka, sebagai formalitas dan memperolah secarik kertas ijazah. Yang kedua, sebagian sejarah yang
diciptakan pemerintah terdahulu banyak menyesatkan, sehingga pandangan dan
opini masyarakat sama-sama digiring untuk memusuhi golongan tertentu. Akibatnya
masih adanya prasangka satu sama lainnya. Nah tugas dari kita sebagai generasi
penerus yakni untuk kembali mengembalikan hal yang semestinya, dengan kata lain
sejarah yang buruk dari bangsa ini harus di katakan yang sejujur-jujurnya
sesuai dengan bukti-bukti terkait tanpa merendahkan versi yang sudah dibuat.
Bangsa yang tidak mengenal
sejarahnya adalah bangsa yang kehilangan arah, mungkin ungkapan itu sangat
relevan jika kita pandang Indonesia ini mau kemana kedepannya. Kita seringkali
merasa galau melihat bangsa ini. Seperti ungkapan budayawan Cak Nun (Emha Ainun
Najib) “Apakah kita ini bangsa besar atau bangsa kerdil?, jika kita bangsa
besar maka cara untuk bangkit dari keterpurukan selayaknya bangsa yang besar”.
Bisa kita bayangkan betapa besarnya bangsa kita terdahulu. Nusantara dengan
kerajaan Majapahit dan Sriwijaya-Nya begitu kokoh dan kuat sebagai sebuah
kerajaan ataupun negara terdahulu, bahkan hampir seluruh wilayah Asia Tenggara
berhasil ditakhlukan. Bangsa kita terdahulu adalah penakhluk lautan itu
membuktikan bahwa kita bangsa maritim yang kokoh, dan bangsa kita adalah salah
satu lumbung padi dunia dan itu juga membuktikan bangsa kita adalah agraris
yang makmur. Akan tetapi jika kita bandingkan dengan sekarang dengan kekayaan
yang serupa bangsa kita jatuh terpuruk. Sungguh malu jika kita menyadari bahwa
Indonesia mengimpor padi yang sebagian besar panduduknya adalah petani.
Inilah salah satu sumber lecutan
semangat bagi kita para generasi penerus tongkat estafet republik ini, yang
akan hidup di masa 100 tahun Indonesia merdeka. Mari singsingkan legan untuk
kita terus menerus berjuang demi terciptanya negara yang makmur adil dan
beradab sesuai dengan cita-cita Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945 yang
berjalan gagah dengan semboyan Bhineka Tungal Ika (berbeda-beda tetapi tetap
satu jua). Juga berjalan tanpa meninggalkan sejarah masa lalu bangsa ini yang
penuh dengan perjuangan saat dalam proses merebut kemerdekaan, sehingga ini
menjadi acuhan untuk kita untuk selalu bersemangat dalam perjuangan. Agar
meneladani yang baik dari pahlawan kita dan meninggalkan keburukan yang
membekas di relung hati kita saat mempelajari sejarah. Merdeka!
Sumber : http://www.kompasiana.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar