Sebagai bangsa kita sudah kehilangan rasa percaya diri (pede). Dan, ujar Sujiwo Tejo, dalang, penulis, pelukis, sutradara, aktor, dan pemusik, dalam perbincangan dengan Suara Merdeka, Jumat (12/8), kita pun sudah kehilangan kepercayaan pada para tokoh di negeri ini. Akhirnya, negeri ini pun kehilangan kedaulatan,baik secara politik, ekonomi, maupun kultural.
Kenapa kini kita tak berdaulat
secara ekonomi, kultural, dan politik?
Karena kita tak percaya lagi pada
para tokoh di negeri ini. Nah, ketika kita tak percaya lagi pada para tokoh
itu, tiba-tiba seperti dipaksa terus dan harus percaya pada mereka. Meski kita
semua tahu, tak ada tokoh yang bisa dipercaya lagi.
Contoh terkini kasus Nazaruddin.
Banyak tokoh di negeri ini, juga Presiden, mengatakan sebaiknya kasus
Nazaruddin diserahkan ke jalur hukum. Namun siapa percaya sistem hukum di
Indonesia saat ini dapat berjalan baik dan adil? Siapa mampu menjamin kasus
hukum Nazaruddin tidak dipermainkan sedemikian rupa? Sebagian tokoh menyatakan
alangkah baik Nazaruddin diserahkan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK), karena lebih terjamin keobjektifannya. Siapa bisa menjamin tak terjadi
kecurangan di sana?
Itulah faktanya. Dan kita sedang
berada dan melewati masa ketidakpercayaan pada para tokoh negeri ini, entah
sampai kapan.
Mungkin kalau kita komparasikan
dengan dunia anak-anak, Indonesia saat ini nggreges-nggreges atau demam. Kalau
itu bisa kita lewati, kemungkinan besar Indonesia menjadi dewasa. Selain itu,
ada paradigma bernegara yang keliru di negeri ini. Sebagaimana dikatakan
penyair AS yang dikutip Presiden John F. Kennedy, “Jangan pernah tanyakan
kepada negara apa yang telah negara berikan kepadamu, tetapi tanyakanlah pada
dirimu apa yang telah engkau berikan kepada negara.” Paradigma itu sangat
keliru. Seharusnya ungkapan itu dibalik, “Apa yang bisa diberikan negara kepada
kita sebagai warga bangsa.” Jadi pemimpin tak akan leha-leha, kemudian
berlindung di balik ungkapan itu, sementara mereka tak melakukan apa-apa. Apa
gunanya negara kalau tak mampu memberikan apa-apa pada warga negaranya?
Contoh sederhana, ketika masyarakat
harus mengenakan helm ketika berkendaraan di jalan raya. Apa dasarnya harus
memakai helm? Supaya kalau kecelakaan, tidak celaka dan tidak mati di jalan.
Namun kalau tidak mati di jalan, apakah negara memberikan sesuatu? Kalau tidak
mati di jalan, negara mau apa? Apakah negara memberikan jaminan kesehatan?
Pendidikan gratis? Perlindungan mendasar? Memenuhi kebutuhan pokok? Toh
kalaupun mati di jalan, kita sendiri yang mengurusi semua tetek-bengek. Berarti
ada yang salah dengan UU Lalu Lintas.
Apa variabel determinan yang
menyebabkan ketidakberdaulatan kita?
Rasa rendah diri! Itulah yang aku
ajukan sebagai syarat untuk calon presiden mendatang, yakni rasa percaya diri.
Itu urutan pertama. Bukan riwayat pernah korupsi atau tidak. Kalau syarat belum
pernah korupsi diajukan, tak ada orang bebas korupsi di negeri ini. Yang utama
tetaplah rasa percaya diri atau jangan pernah sekalipun punya riwayat minder.
Mengapa minder lekat dengan bangsa Indonesia? Karena para tokoh dan pengajar di
negeri ini, juga kita secara umum, lebih senang menceritakan dan mengunggulkan
bangsa lain daripada bangsa sendiri. Contohnya, kita lebih gemar bercerita
tentang etos kerja bangsa China, Jepang, Korea, Amerika, dan Eropa. Kita nyaris
tak pernah bercerita tentang Soekarno, yang sejak mula selalu mengatakan dengan
lantang, “Berdiri di atas kaki sendiri!” Jadi sepemahaman saya, hanya Bung
Karno yang tak punya riwayat minder. Anda bisa lihat bagaimana pembelaannya
ketika ditahan di Bandung berjudul “Indonesia Menggugat”, tidak ada sedikit pun
keminderan terbaca di sana. Beda, misalnya, dari kasus Richard Gere yang
baru-baru ini mampir ke Indonesia. Seorang pembawa acara stasiun TV mengatakan,
“Kita beruntung karena kedatangan Richard Gere ke Candi Borobudur, jadi
pariwisata Indonesia makin dikenal di dunia internasional dan bla-bla-bla.”
Seharusnya, pemikiran minder itu dibalik, “Richard Gere beruntung karena
berhasil mendatangi Candi Borobudur sebagai salah satu keajaiban dunia.” Atau,
bagaimana banyak instansi di negeri ini gemar meng-hire para pekerja asing,
dengan harapan ketika para pekerja asing itu melakukan negosiasi bisnis dengan
pejabat negara, pejabat negara minder.
Contohlah Agus Salim, yang meski
senantiasa makan dengan tangan, dalam setiap perjanjian di luar negeri selalu
memenangkan Indonesia. Karena itu, kerendahdirian harus kita buang jauh-jauh.
Apakah itu berkait dengan
kemungkinan kehilangan daya hidup, etos kerja, dan kreativitas kita sebagai
bangsa?
Sejatinya kita bangsa yang kreatif.
Lihatlah anak-anak kita yang telah menemukan energi surya. Anak SMP di berbagai
tempat yang memenangi berbagai olimpiade fisika, matematika, dan olimpiade
keilmuan lain di tingkat dunia. Atau, bagaimana anak-anak di Pasuruan bisa
menjadi nomor satu dalam tanding ilmu pasti. Intinya, banyak potensi di negeri
ini, banyak ahli komputer yang tak tertandingi. Etos kerja kita sangat punya,
hanya masalahnya etos kerja itu tidak disebut oleh orang kita
sendiri. Karena, kita berkecenderungan lebih gemar menyebut etos kerja orang
Jerman, Jepang, Korea.
Seharusnya kita, juga para
guru-guru, bercerita betapa hebat etos kerja para petani Indonesia, yang harus
bangun subuh untuk pergi ke sawah dan ketika matahari terbit para istri
berdatangan ke sawah membawa sarapan untuk para suami. Bagaimana para nelayan
mempunyai ketabahan dan keberanian sangat luar biasa. Meski harga solar
melambung tinggi, mereka tetap melaut, meski tangkapan tidak pasti dan bisa
saja mati tertelan ombak bersama perahu. Atau, bagaimana pedagang di
pasar-pasar tradisional itu pada pagi-pagi buta bergelantungan di mobil bak
terbuka. Melanjutkan mimpi di atas tumpukan sayur yang hendak dijual di pasar
atau di mana pun. Apakah kita tidak bangga dengan etos kerja sedemikian luar
biasa itu? Atau bagaimana para mbok itu dengan barang dagangan di pinggul yang
melebihi berat tubuhnya berjalan berkilometer-kilometer demi keuntungan tak
seberapa, tetapi semua itu mereka lakukan secara sukacita.
Pokok ceritanya, kita lebih gemar
menyebut bangsa lain dari pada melihat diri sendiri. Itulah yang berdampak
terhadap kehidupan politik, ekonomi, dan budaya. Politik kita sudah tak percaya
pada para pelakunya, budaya kita sudah tak percaya pada diri sendiri. Secara
ekonomi, kita lebih suka mengimpor produk dari mancanegara daripada berproduksi
sendiri. Karena untuk memproduksi, biaya dan kendalanya jauh lebih tinggi
daripada sekadar mengimpor. Contoh konkret, akhirnya kita mendatangkan film
Harry Potter and Deathly Hollow Part 2, padahal masih ada yang mengemplang
pajak film. Kenapa kita takut tidak dapat menonton film impor itu? Bukankah
masih ada Riri Riza, Hanung Bramantyo, dan sutradara-sutradara bagus yang lain?
Ke manakah kecenderungan hidup kita
sebagai bangsa, makin kohesif-integral atau justru makin tak berkepastian?
Ketakberkepastian itu mengemuka,
karena kita melupakan spirit sebagai bangsa, sebagaimana dulu Bung Karno mampu
menggalang negara-negara Asia-Afrika. Spirit seperti yang ditunjukkan dalam
marhaenisme; bukan partainya. Itulah yang kita butuhkan sekarang. Karena
sebagaimana kita harapkan, kalau negara tak mampu dan bisa memberikan lapangan
kerja, pendidikan, kesehatan, minimal paling tidak memberikan perlindungan,
rasa aman, dan keadilan. Tapi sekarang bahkan rasa aman yang paling mendasar
pun sudah tak ada. Itu ditunjukkan dengan bukti, agama mayoritas di negeri ini
bisa berperilaku seenaknya sebagaimana terlihat dalam kasus Cikeusik. Kalau
kepastian rasa aman sudah tidak ada, buat apa kita bernegara?
Apa penyebab semua itu?
Rasa minder itu! Output-nya
ketidakpastian. Seperti sistem negara kita yang presidensiil dan parlementer.
Kenapa kita tidak kembali ke Pancasila, sila kelima. Siapa tahu dengan begitu
kita mempunyai sistem pemerintahan sendiri, karena sistem demokrasi
presidensiil dan parlementer tidak cocok bagi sistem demokrasi kita. Meski
bukan berarti kita kembali ke sistem musyawarah mufakat seperti zaman Soeharto
dulu. Sistem saat ini terbukti menimbulkan suasana ketidakpastian. Bagaimana
kita bisa merespons suasana kemerdekaan seperti sekarang, jika dalam kondisi
penuh ketidakpastian.
Karena itu saya setuju NKRI menjadi
harga mati, tetapi dengan syarat: pemerintah serius mengurusi negara. La ini,
semua mikir partai masing-masing. Gimana mau NKRI?
Karena itu kita semua, terutama para
tokoh, harus berpikir konsisten. Kalau mau nasionalisme ya nasionalisme, kalau
globalisme ya globalisme. Jangan seperti sekarang, ketika salah satu tokoh bisa
dengan enak mengatakan, “Kantongi saja nasionalismemu,” dengan lebih
mengutamakan globalisasi atau internasionalisme, dengan dasar nasionalisme
sudah mati. Terbukti, terlalu banyak pekerja asing di negeri ini, sebagaimana
negeri ini banyak mengekspor pekerja ke luar negeri. Kalau nasionalisme tak
mampu, globalisasi tak bisa, mending kita jadi provinsi ke-51 Amerika Serikat.
Sekarang teori dan praksis bertolak
belakang. Sejak kecil kita diajari ekonomi koperasi, tapi pernahkah Anda
menjumpai gedung pencakar langit di jalan utama di Jakarta dimiliki koperasi?
Saya bayangkan jika klub-klub sepakbola dimiliki koperasi, keuntungan untuk
anggota.
Jadi Indonesia harus bagaimana?
Harus ada revolusi pemikiran,
mindset revolution. Dan, yang mengawali adalah pemimpin karena dia mengambil
sekitar 80 persen peran penting revolusi itu, sementara masyarakat hanya
sekitar 20 persen. (51)
Sumber :
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/14/156086/Bangsa-Kita-Tak-Pede-Lagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar