HOS
Tjokroaminoto/Kompasiana (kompas.com)
“sosialisme
yang wajib dituntut dan dilakukan oleh umat Islam, dan bukan sosialisme yang
lain, melainkan sosialisme yang berdasar kepada azas-azas Islam belaka.”
-
Tjokroaminoto
Pak
Tjokro dan Sarekat Islam
Raden
Mas Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, atau kerap disapa Pak Tjokro oleh orang
pada masanya, adalah seorang yang lahir di Madiun pada 16 Agustus 1882.
Ia merupakan seorang yang berasal dari keluarga bangsawan, kakeknya menjabat
sebagai Regent (Bupati) Ponorogo. Karenanya, sedari awal, pendidikan Pak
Tjokro sudah diarahkan untuk menjadi pegawai negeri, kendati itu bukanlah
keinginannya. Ia menyelesaikan pendidikan di OSVIA (Opleidingschool Voor
Inlandsche Ambtenaren), sekolah bagi para calon administratur bumiputera,
sebelum akhirnya bekerja sebagai pegawai negeri di daerah Ngawi. Ia hanya
bertahan selama 7 tahun sebagai pegawai negeri. Dalam pengembaraannya, ia
sampai di Surabaya lalu kembali melanjutkan pendidikan di BAS (Burgerlijke
Avond School) pada jurusan mesin, kemudian bekerja di pabrik gula. Sembari
bekerja di pabrik gula, pada 1907, ia juga mulai menulis di harian Bintang
Soerabaja.
Sejarah
mengenal Pak Tjokro sebagai pemimpin SI (Sarekat Islam) yang paling fenomenal.
Namun, banyak orang belum tahu bahwa SI hanyalah bentuk yang lebih lanjut dari
sebelumnya yang merupakan SDI (Sarekat Dagang Islam) yang berdiri pada tahun
1905. SDI didirikan oleh H. Samanhoedi yang awalnya didedikasikan sebagai
koperasi pedagang batik Surakarta. Tujuan didirikannya SDI adalah untuk
memperkuat pemberdayaan pedagang lokal, khususnya batik. Seiring
perkembangannya, SDI akhirnya berubah nama menjadi SI yang bermarkas pusat di
Surabaya. Salah satu tokoh pemrakarsanya adalah Pak Tjokro. Namun demikian,
pemerintah kolonial melalui Gubernur Jendral Alexander Idenburg tidak bersedia
memberikan status badan hukum kepada pengurus pusat SI. Idenburg hanya bersedia
memberikan status badan hukum kepada pengurus-pengurus SI lokal. Penulis
menduga bahwa pemerintah kolonial sudah bisa mengendus pergerakan SI, sehingga
tidak memberikan status badan hukum kepada pengurus pusat SI sebagai langkah
mengerdilkan organisasi tersebut. Namun demikian, akhirnya pada 1915, Centraal
Sarekat Islam (CSI) dideklarasikan melalui kongres ke-3 SI (yang juga Kongres
Nasional CSI Ke-1) dengan Pak Tjokro sebagai pemimpinnya. Kongres tersebut juga
dianggap sebagai tonggak pertama penggunaan istilah “Nasional” dalam sejarah
Indonesia, yang akhirnya terlupakan dan tergilas oleh PNI (Perserikatan
Nasional Indonesia) oleh Bung Karno yang kemudian tercatat dalam sejarah
sebagai pelopor istilah “Nasional”.
Bapak
dari Bapak Bangsa
Pak
Tjokro juga dikenal sebagai bapak ideologis dari banyak tokoh pergerakan
Indonesia, diantaranya Soekarno, Abikusno, Semaoen, Alimin, Muso, Agus Salim,
KH. Mas Mansyur, Kartosoewirjo, dan masih banyak lagi. Dari banyak tokoh
tersebut tiga diantaranya merupakan tokoh penting dalam sejarah
pergerakan nasional: Soekarno, Semaoen, dan Kartosoewirjo. Meskipun berasal
dari satu bapak yang sama, dalam perjalanannya ketiga orang tersebut justru saling
menikam dan menghabisi secara ideologis. Hal ini bisa terjadi karena sedari
awal Pak Tjokro sudah menyadari adanya pluralitas dan kemajemukan bangsa
Indonesia, karenanya pula, Pak Tjokro tidak pernah bersikap ekslusif meskipun
dirinya sendiri lebih dekat dengan Islam sebagai ideologi. Semaoen, dengan
dukungan jaringan Komintern (Komunis Internasional) yang anti-pan islamis yang
diusung oleh Pak Tjokro, akhirnya berhasil mengkooptasi kaum muda beberapa SI
lokal untuk berubah haluan menjadi Komunisme yang kemudian mendeklarasikan SI
Merah yang juga merupakan embrio dari Partai Komunis Indonesia. Hingga
akhirnya, sang bapak memecat Semaoen dari keanggotaan SI, dan Semaon pun lebih
leluasa mengembangkan jaring-jaring pengaruh komunismenya. Meskipun, banyak kalangan
menilai langkah Pak Tjokro tersebut sudah terlambat dan seharusnya dilakukan
jauh sebelum SI Merah berkembang. Sedangkan, Kartosoewirjo merupakan salah satu
pimpinan PSII (Partai Sjarikat Islam Indonesia) semasa penjajahan, namun,
kemudian memimpin pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia).
Pun, mendeklarasikan NII (Negara Islam Indonesia) pada 1 Agustus 1949.
Kisah
Soekarno tak jauh berbeda. Soekarno sendiri merupakan anak didik yang paling
digemari oleh Pak Tjokro. Dalam beberapa catatan sejarah, tak jarang Soekarno
menirukan gaya orasi Pak Tjokro di depan cermin saat malam, hingga kawan-kawan
seperguruannya semisal Darsono dan Alimin menertawainya. Namun, gaya itulah
yang ternyata membuat Soekarno populer dalam hal orasi. Berapi-api, pemilihan
kata yang elok, dan gesture yang tegas adalah beberapa hal dari gaya
orasi Pak Tjokro yang kemudian menyelinap ke dalam Soekarno yang kemudian
membesarkan nama Soekarno sendiri. Hingga akhirnya, Soekarno yang memenangkan
pertempuran ideologis itu dengan memberangus Pemberontakan Madiun yang
menyebabkan tertembak matinya Muso. Juga, pemberantasan Pemberontakan DI/TII
yang berhasil memejahijaukan Kartosoewirjo hingga akhirnya divonis hukuman mati
dan dieksekusi. Ada empat ajaran pokok Pak Tjokro pula yang terus dipegang
Soekarno kelak hingga memimpin negeri ini, keempat ajaran pokok itu ialah,
1.
Islam adalah agama yang mengajarkan ide-ide demokrasi.
2.
Islam merupakan dasar pokok bagi pendidikan moral dan inlektual.
3.
Pemerintah Hindia-Belanda tidak boleh ikut campur dalam bidang agama
dan tidak membuat diskriminasi atas agama-agama yang ada di Indonesia.
dan tidak membuat diskriminasi atas agama-agama yang ada di Indonesia.
4.
Rakyat harus diberi kesempatan berpartisipasi dalam politik.
Dalam
kiprah politiknya, Soekarno kerap mengewejantahkan empat ajaran pokok Bung
Tjokro itu, salah satu tafsirannya sebagai sekulerisme, “Tidak perlunya negara
mengatur persoalan agama dan agama mengatur persoalan negara. Sebab meskipun
agama dipisahkan dari negara, tidak berarti agama akan dikesampingkan dalam
kehidupan kenegaraan. Juga tidak mungkin keputusan-keputusan politik negara
akan bertentangan dengan prinsip-prinsip agama yang dianut masyarakat, apabila
lembaga parlemen yang mengeluarkan keputusan-keputusan itu beranggotakan
orang-orang yang yakin akan kebenaran ajaran agamanya.”
Gagasan
Sosialisme-Islam Pak Tjokro
“Islam
dan Sosialisme” adalah salah satu manifesto Pak Tjokro yang paling fundamental
yang menjelaskan hubungan Islam dengan Sosialisme, dasar-dasar historis atas
Islam yang sosialis, dan penjelasan penolakannya atas Marxisme dan Kapitalise,
serta mengapa Sosialisme-Islam layak untuk Indonesia. Buku tersebut diterbitkan
pada tahun 1924, di kala isme-isme yang ada sedang digandrungi pelajar-pelajar
Indonesia. Kehadiran buku “Islam dan Sosialisme” menawarkan sebuah alternatif
baru di luar isme-isme yang masuk dari dunia barat, seperti Komunisme,
Liberalisme, Kapitalisme, dan Islamisme itu sendiri.
“Islam
dan Sosialisme” dibuka dengan tulisan, “sosialisme yang wajib dituntut dan
dilakukan oleh umat Islam, dan bukan sosialisme yang lain, melainkan sosialisme
yang berdasar kepada azas-azas Islam belaka.” Pak Tjokro berpendapat bahwa
Sosialisme yang digagas dalam Islam dibangun di atas kemajuan budi pekerti
rakyat. Lebih lanjut lagi, Pak Tjokro mengatakan bahwa Islam dengan tegas
mengharamkan riba’, yang oleh Marx disebut nilai lebih, dengan demikian
jelas pulalah bahwa Islam menentang Kapitalisme. Pak Tjokro juga memberikan
ilustrasi lain tentang bagaimana Islam menentang Kapitalisme dan Islam
kompatibel dengan Sosialisme, yaitu dalam konsep dasar muamalah Islam, dimana
Islam mengingatkan akan celaka orang yang mengumpulkan harta untuk kesia-siaan.
Jadi dalam sistem muamalah Islam, praktek yang mengarah pada penimbunan atau
penumpukan modal dan barang adalah dilarang. Demikian juga Islam melarang
praktek riba karena dianggap benih kapitalisme. Pak Tjokro kemudian
menyimpulkan dua prinsip utama dalam Islam, yaitu Kedermawanan Islami dan
Persaudaraan Islam.
Sebuah
Tanggapan
Dari
beberapa ulasan, yang bertebaran di dalam jaringan internet, mengenai Pak
Tjokro, penulis mengetahui bahwa Pak Tjokro merupakan pribadi dengan pemahaman
yang luas dalam hal dunia pemikiran dan merupakan seorang yang open minded.
Hal tersebut tercermin dari bagaimana pada akhirnya murid-murid Pak Tjokro
memiliki fokus ideologi yang beragam, sebut saja Nasionalis Soekarno dan
Komunis Semaoen. Namun, ada sebuah sifat Pak Tjokro yang ditengarai menjadi
salah satu sebab meluasnya perpecahan SI, yakni keinginan Pak Tjokro untuk
menyenangkan semua pihak dan berdiri di atas semua golongan. Dari berbagai
ulasan mengenai “Islam dan Sosialisme” pula, penulis menyimpulkan bahwa Pak
Tjokro sebagai seorang Islam belum mempunyai pemahaman yang mendalam terkait
Islam itu sendiri. Lemahnya pemahaman Islam Pak Tjokro dapat dideteksi dari
kurang tergalinya prinsip “doa orang yang tertindas akan lebih dikabulkan”,
dalam Al-Qashash:5 misalnya, “Dan kami hendak memberi karunia kepada
orang-orang yang tertindas (mustadhafin atau dhu’afa) di bumi dan hendak
menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi
bumi”. Hal ini membuat gagasan Pak Tjokro terasa kentang (kena tanggung)
dan parsial. Padahal, gambar besar yang ditawarkan Pak Tjokro sudah cukup baik
dan cukup menyentuh praksis. Kendati demikian, perlu diakui bahwa Pak Tjokro
terlambat menyebarkan virus gagasan Islam-Sosialisnya, Semaoen melalui SI Merah
lebih cepat menyebarkan gagasan-gagasan Komunismenya dan ternyata kompatibel
dengan situasi dan kondisi rakyat saat itu yang notabene tertindas oleh mata
rantai kolonialisme Belanda dan feodalisme kaum priyayi.
Salah
satu hal yang juga bisa diambil sebagai teladan dari Pak Tjokro adalah bunuh
diri kelas yang beliau lakukan. Di awal tulisan ini, diulas bahwa Pak Tjokro
merupakan seorang keturunan priyayi dengan kakek seorang regent. Dengan
fasilitas demikian, bukan hal yang mustahil jika Pak Tjokro bisa mendapat
pendidikan yang baik, juga bukan tidak mungkin jika Pak Tjokro bisa meraih
posisi yang baik sebagai Pangreh Praja. Seandainya saja Pak Tjokro lebih
memilih menjadi pengabdi kolonialis, mungkin tidak mustahil Soekarno tidak
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Bahkan Soekarno
sendiri berkata, “Andaikata Tjokroaminoto masih hidup, tentulah bukan saya yang
menjadi presiden, melainkan dia. Saya ini tidak ada apa-apanya dibanding dia.”
Bahan
Acuan: http://tjokroaminoto.wordpress.com/
> 26/01/2014, 15.03 WIB
Sumber: http://www.kompasiana.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar