Revolusi Ekonomi
Oleh
: Suroto
Demokrasi
Ekonomi, agenda yang terlupa Demokrasi ekonomi disebut dalam konstitusi kita.
Demokratisasi ekonomi selalu dijadikan kalimat pengantar konsideran
undang-undang yang mengatur persoalan perekonomian. Bahkan demokratisasi
ekonomi jadi satu agenda penting reformasi yang ditetapkan dalam ketetapan TAP
MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Ekonomi Politik dalam rangka Demokratisasi
Ekonomi. Tapi praktek demokrasi dan demokratisasi ekonomi kita bagaimana
setelah enambelas tahun reformasi? Itu persoalan lain, semua ternyata hanya
pepesan kosong. Rezim despotis Soeharto telah tumbang, orang-orang baru mulai
bermunculan, tapi masalah-masalah lama kembali mengemuka dengan solusi
kebijakan lama. Hiruk pikuk reformasi meredup, dan digantikan gempita kolusi,
korupsi dan nepotisme dalam skala yang lebih masif. Praktek keseharian ekonomi
kita adalah liberal kapitalistik. Faktanya, struktur ekonomi dualistik kita
tidak berubah sejak jaman kolonial Belanda. Bahkan tingkat kesenjangan ekonomi
kita dalam kondisi paling parah sejak Indonesia merdeka. Gini indeks rasio kita
awal tahun 2014 ini telah membumbung keangka 0,45. Kesenjangan struktural yang
dilihat oleh para pendiri republik ini tidak mengalami proses transformasi sama
sekali. Ekonomi kita tetap terbelah menjadi dua. Deretan kemakmuran segelintir
orang diatas, dan barisan besar rakyat dalam kemiskinan. Semua UU mengenai
perekonomian kita secara permisif bahkan telah disesuaikan agar pro terhadap
pasar liberal kapitalistik. Pemilik modal besar jadi begitu kuasa, rakyat jadi
korban dan pemerintah jadi gedibal kepentingan modal besar asing dan lokal dan
bukan untuk pikirkan kesejahteraan rakyatnya. Demokrasi politik prosedural kita
berjalan secara ultra liberal. Hanya pilihan kepala rumah tangga saja rasanya
yang tidak dilakukan voting. Sementara, demokrasi ekonomi ditinggal jauh tak
tersentuh di belakang. Sistem kapitalisme negara (state-led capitalism) yang
jadikan negara sebagai penjaga malam digantikan profesinya sebagai penjaga WC
dalam pola kapitalisme pasar (market-led capitalism). Tugas negara bersihkan
kotoran kapitalisme yang berupa kebangkrutan dengan bail-out, konflik dengan
mediasi, kerusakan lingkungan dengan kompensasi, kemiskinan dengan charity,
kebodohan dengan pendidikan gratis. Semua dibebankan pada negara., sementara
korporasi kapitalis sebagai penyebabnya dibiarkan melakukan ekploitasi
sebebas-bebasnya. Korporasi dilepaskan dari tanggungjawab public (res-public)
dan dibiarkan liar merusak. Panduan sistem ekonomi kita bukan lagi Konstitusi,
sumber hukum kita bukan lagi Pancasila, tapi berupa pasar yang telah didominir
pemilik modal besar asing dan gedibal-nya dalam ideologi laises faire, laises
passer. Pileg dan Pilpres sebagai harapan? Dari apa yang telah terjadi selama
reformasi mengemuka dan juga dalam berbagai kampanye program Partai politik
konstestan pemilu lalu juga tidak banyak yang menyentuh substansi program
kearah demokratisasi ekonomi. Demokrasi Ekonomi justru secara cepat telah
terpreteli oleh berbagai undang-undang (UU) yang mengarah pada penguasaan pada
segelintir orang dan kuasa asing. Sebut saja UU BUMN, UU Perbankkan baik yang
konvensional maupun syariah, UU Penanaman Modal, UU Perkoperasian, UU Minerba,
UU Ketenagakerjaan dan lain sebagainya. Sungguh, negara ini tidaklah layak
menyebut dirinya sebagai negara demokrasi karena demokrasi politik yang minus
demokrasi ekonomi itu sesungguhnya adalah rezim Plutokarkhi, rezim ditangan
segelintir elit politik dan orang kaya yang sebetulnya adalah rezim anti
demokrasi. Ini dapat kita lihat dari siapa yang kemudian duduk mewakili
aspirasi kita di parlemen. Kemudian sebuah tanda tanya besar untuk para calon
presiden kita. Mereka belum ada yang berani mengucap janji untuk laksanakan
demokrasi ekonomi. Pembangunan Berkelanjutan Demokrasi Ekonomi yang juga
berarti pemerataan akses ekonomi, keadilan sosial, dan pembangunan
berkelanjutan diabaikan. Perekonomian kita berada dalam titik yang rapuh,
seperti istana pasir yang rentan terhadap goncangan setiap datang badai krisis
yang setiap saat mengancam. Konsep pembangunan berkelanjutan sebagai konsep
yang maju dari paradigma pembangunan telah tempatkan beberapa aspek penting
dalam pembangunan. Aspek tersebut adalah menyangkut keamanan ekonomi,
keseimbangan ekologikal, keadilan sosial, dan stabilitas politik ( Hagen
Hendry, 2012). Sejak tahun 1997, International Court of Justice (ICJ) juga
telah akui konsep pembangunan yang berkelanjutan. Pengakuan secara tegas juga
telah ada dalam Konstitusi kita terutama pasal 33. Semua negara anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan termasuk kita juga telah berkomitmen dalam
platform pembangunan berkelanjutan ini guna mencapai target tujuan Millenium
Development Goal (MDG’s). Itu berarti dimensi pembangunan harus diarahkan
kedalam agenda demokratisasi ekonomi. Beberapa agenda penting demokratisasi
ekonomi tersebut adalah : Pertama, kembalikan tanah milik rakyat, laksanakan
agenda reforma agraria. Kedua, lakukan refoma korporasi dengan revisi seluruh
undang-undang menyangkut masalah perekonomian yang sudah liberal kapitalistik
melalui agenda uji legislasi, dan bukan uji materi lagi ke Mahkamah Konstitusi.
Ketiga, dorong partisipasi masyarakat dalam model kepemilikkan inklusif secara
masif melalui organisasi bisnis mutual yang demokratis. Demokrasi ekonomi
adalah jaminan atas peran partisipasi seluruh masyarakat dalam proses produksi,
distribusi dan konsumsi. Perekonomian yang dalam arti mikro adalah perusahaan
itu menghendaki agar berikan peluang secara aksestabel terhadap setiap warga
negara untuk terlibat sebagai subyek dan bukan obyek ekonomi. Demokratisasi
ekonomi adalah cara untuk berikan rakyat peluang untuk mengkreasi kekayaan dan
pendapatan secara adil. Dan ini tidak bisa kita selesaikan dengan voting, bukan
dengan sabotase, dan apalagi hanya dengan pajak tinggi dalam model negara
kesejahteraan (welfare state). Demokrasi ekonomi itu adalah sebuah perubahan
permanen. Perubahan kearah keadilan sosial bagi seluruh rakyat! Bukan
segelintir orang. Semua itu butuh sikap revolusioner untuk mewujudkannya!
Jakarta, 4 Mei 2014 Suroto, Ketua Umum Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis
(AKSES), alumni Universitas Jenderal Soedirman.
Sumber: http://www.kompasiana.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar