Rabu, 16 Juli 2014

Revolusi Ekonomi



Revolusi Ekonomi
Oleh : Suroto
Demokrasi Ekonomi, agenda yang terlupa Demokrasi ekonomi disebut dalam konstitusi kita. Demokratisasi ekonomi selalu dijadikan kalimat pengantar konsideran undang-undang yang mengatur persoalan perekonomian. Bahkan demokratisasi ekonomi jadi satu agenda penting reformasi yang ditetapkan dalam ketetapan TAP MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Ekonomi Politik dalam rangka Demokratisasi Ekonomi. Tapi praktek demokrasi dan demokratisasi ekonomi kita bagaimana setelah enambelas tahun reformasi? Itu persoalan lain, semua ternyata hanya pepesan kosong. Rezim despotis Soeharto telah tumbang, orang-orang baru mulai bermunculan, tapi masalah-masalah lama kembali mengemuka dengan solusi kebijakan lama. Hiruk pikuk reformasi meredup, dan digantikan gempita kolusi, korupsi dan nepotisme dalam skala yang lebih masif. Praktek keseharian ekonomi kita adalah liberal kapitalistik. Faktanya, struktur ekonomi dualistik kita tidak berubah sejak jaman kolonial Belanda. Bahkan tingkat kesenjangan ekonomi kita dalam kondisi paling parah sejak Indonesia merdeka. Gini indeks rasio kita awal tahun 2014 ini telah membumbung keangka 0,45. Kesenjangan struktural yang dilihat oleh para pendiri republik ini tidak mengalami proses transformasi sama sekali. Ekonomi kita tetap terbelah menjadi dua. Deretan kemakmuran segelintir orang diatas, dan barisan besar rakyat dalam kemiskinan. Semua UU mengenai perekonomian kita secara permisif bahkan telah disesuaikan agar pro terhadap pasar liberal kapitalistik. Pemilik modal besar jadi begitu kuasa, rakyat jadi korban dan pemerintah jadi gedibal kepentingan modal besar asing dan lokal dan bukan untuk pikirkan kesejahteraan rakyatnya. Demokrasi politik prosedural kita berjalan secara ultra liberal. Hanya pilihan kepala rumah tangga saja rasanya yang tidak dilakukan voting. Sementara, demokrasi ekonomi ditinggal jauh tak tersentuh di belakang. Sistem kapitalisme negara (state-led capitalism) yang jadikan negara sebagai penjaga malam digantikan profesinya sebagai penjaga WC dalam pola kapitalisme pasar (market-led capitalism). Tugas negara bersihkan kotoran kapitalisme yang berupa kebangkrutan dengan bail-out, konflik dengan mediasi, kerusakan lingkungan dengan kompensasi, kemiskinan dengan charity, kebodohan dengan pendidikan gratis. Semua dibebankan pada negara., sementara korporasi kapitalis sebagai penyebabnya dibiarkan melakukan ekploitasi sebebas-bebasnya. Korporasi dilepaskan dari tanggungjawab public (res-public) dan dibiarkan liar merusak. Panduan sistem ekonomi kita bukan lagi Konstitusi, sumber hukum kita bukan lagi Pancasila, tapi berupa pasar yang telah didominir pemilik modal besar asing dan gedibal-nya dalam ideologi laises faire, laises passer. Pileg dan Pilpres sebagai harapan? Dari apa yang telah terjadi selama reformasi mengemuka dan juga dalam berbagai kampanye program Partai politik konstestan pemilu lalu juga tidak banyak yang menyentuh substansi program kearah demokratisasi ekonomi. Demokrasi Ekonomi justru secara cepat telah terpreteli oleh berbagai undang-undang (UU) yang mengarah pada penguasaan pada segelintir orang dan kuasa asing. Sebut saja UU BUMN, UU Perbankkan baik yang konvensional maupun syariah, UU Penanaman Modal, UU Perkoperasian, UU Minerba, UU Ketenagakerjaan dan lain sebagainya. Sungguh, negara ini tidaklah layak menyebut dirinya sebagai negara demokrasi karena demokrasi politik yang minus demokrasi ekonomi itu sesungguhnya adalah rezim Plutokarkhi, rezim ditangan segelintir elit politik dan orang kaya yang sebetulnya adalah rezim anti demokrasi. Ini dapat kita lihat dari siapa yang kemudian duduk mewakili aspirasi kita di parlemen. Kemudian sebuah tanda tanya besar untuk para calon presiden kita. Mereka belum ada yang berani mengucap janji untuk laksanakan demokrasi ekonomi. Pembangunan Berkelanjutan Demokrasi Ekonomi yang juga berarti pemerataan akses ekonomi, keadilan sosial, dan pembangunan berkelanjutan diabaikan. Perekonomian kita berada dalam titik yang rapuh, seperti istana pasir yang rentan terhadap goncangan setiap datang badai krisis yang setiap saat mengancam. Konsep pembangunan berkelanjutan sebagai konsep yang maju dari paradigma pembangunan telah tempatkan beberapa aspek penting dalam pembangunan. Aspek tersebut adalah menyangkut keamanan ekonomi, keseimbangan ekologikal, keadilan sosial, dan stabilitas politik ( Hagen Hendry, 2012). Sejak tahun 1997, International Court of Justice (ICJ) juga telah akui konsep pembangunan yang berkelanjutan. Pengakuan secara tegas juga telah ada dalam Konstitusi kita terutama pasal 33. Semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan termasuk kita juga telah berkomitmen dalam platform pembangunan berkelanjutan ini guna mencapai target tujuan Millenium Development Goal (MDG’s). Itu berarti dimensi pembangunan harus diarahkan kedalam agenda demokratisasi ekonomi. Beberapa agenda penting demokratisasi ekonomi tersebut adalah : Pertama, kembalikan tanah milik rakyat, laksanakan agenda reforma agraria. Kedua, lakukan refoma korporasi dengan revisi seluruh undang-undang menyangkut masalah perekonomian yang sudah liberal kapitalistik melalui agenda uji legislasi, dan bukan uji materi lagi ke Mahkamah Konstitusi. Ketiga, dorong partisipasi masyarakat dalam model kepemilikkan inklusif secara masif melalui organisasi bisnis mutual yang demokratis. Demokrasi ekonomi adalah jaminan atas peran partisipasi seluruh masyarakat dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi. Perekonomian yang dalam arti mikro adalah perusahaan itu menghendaki agar berikan peluang secara aksestabel terhadap setiap warga negara untuk terlibat sebagai subyek dan bukan obyek ekonomi. Demokratisasi ekonomi adalah cara untuk berikan rakyat peluang untuk mengkreasi kekayaan dan pendapatan secara adil. Dan ini tidak bisa kita selesaikan dengan voting, bukan dengan sabotase, dan apalagi hanya dengan pajak tinggi dalam model negara kesejahteraan (welfare state). Demokrasi ekonomi itu adalah sebuah perubahan permanen. Perubahan kearah keadilan sosial bagi seluruh rakyat! Bukan segelintir orang. Semua itu butuh sikap revolusioner untuk mewujudkannya! Jakarta, 4 Mei 2014 Suroto, Ketua Umum Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), alumni Universitas Jenderal Soedirman.

Sumber:  http://www.kompasiana.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar